Angka Tidak Berbohong: Total Fertility Rate
Apakah populasi manusia akan runtuh jika jumlah anak semakin sedikit?
Tulisan ini merupakan rangkuman dari buku Numbers Don’t Lie oleh Vaclav Smil dan penelusuran lebih dalam menggunakan data dari World Bank dan Badan Pusat Statistik. Visualisasi data disajikan menggunakan Tableau dengan fokus pada Indonesia.
Total Fertility Rate (TFR) atau Angka Kelahiran Total adalah berapa banyak bayi yang lahir dari seorang wanita. TFR bergantung pada dua faktor: (1) jumlah bayi yang lahir; (2) lama periode subur seorang wanita. Mengapa TFR penting? Pada Agustus 2022, Elon Musk berkicau di twitter bahwa laju kelahiran yang rendah merupakan risiko yang lebih besar bagi manusia dibandingkan pemanasan global. Terlepas dari risiko mana yang lebih besar, menarik untuk melihat bagaimana TFR menggambarkan apakah populasi manusia akan terus menyusut.

Saat ini, sebagian besar negara di dunia memiliki TFR yang moderat, rendah, atau sangat rendah. Keinginan memiliki anak dengan jumlah lebih sedikit merupakan kombinasi dari standar hidup dengan biaya lebih tinggi, mekanisasi pekerjaan pertanian, mesin yang menggantikan sebagian pekerjaan manusia dan hewan, industrialisasi skala besar, urbanisasi, meningkatnya jumlah wanita yang bekerja, berkembangnya taraf pendidikan dan kesehatan, tingkat sintas bayi yang lebih tinggi, dan dana pensiun yang dijamin pemerintah. Upaya yang sebelumnya fokus pada kuantitas mengalami transisi menjadi kualitas. Dengan berkurangnya jumlah anak, investasi pada seorang anak meningkat mulai dari nutrisi (jumlah daging atau buah per anak) hingga mobilitas (memiliki kendaraan dan perjalanan ke luar negeri).
Agar suatu populasi tetap stabil, dibutuhkan TFR pada level 2.1 (pada suatu populasi, seorang wanita melahirkan rata-rata 2.1 orang anak). Tren yang diamati adalah semakin makmur ekonomi suatu negara, semakin turun nilai TFR negara tersebut. Jika nilai TFR masih diatas 1.7 seperti pada Prancis dan Swedia (1.8 di tahun 2019), terdapat peluang yang bagus untuk populasi melambung kembali. Jika TFR dibawah nilai 1.5 seperti Jepang dan Ukraina (1.4 di tahun 2019) atau Italia dan Spanyol (1.3 di tahun 2019), kemungkinan populasi kembali berkembang menjadi lebih sulit.
Pada tahun 1950, rata-rata TFR dunia sekitar 5 dan 40% manusia tinggal di negara dengan TFR lebih dari 6. Pada tahun 2000, rata-rata TFR global turun menjadi 2.6 dan hanya 5% penduduk manusia tinggal di negara dengan TFR lebih dari 6. Menurut data dari World Bank, TFR global turun hingga 2.2 di tahun 2021.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut data dari World Bank, tren TFR di Indonesia juga cenderung menurun. Nilai TFR Indonesia menyentuh angka tertinggi pada 1965 yakni 5.61 dan terus menurun hingga 2.17 pada 2021.

Fenomena menurunnya angka TFR secara drastis juga terjadi pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1960, 9 anggota ASEAN memiliki TFR diatas 5.0 dan 1 lainnya, Singapura, memiliki TFR diatas 3.0.

Pada tahun 2020, 10 negara ASEAN memiliki TFR dibawah 3.0. Dua negara memiliki TFR dibawah 1.7, Singapura (1.1) dan Thailand (1.3). Tiga negara memiliki TFR diantara 1.7 dan 2.1, Malaysia (1.82), Vietnam (1.96), dan Brunei (1.80). Filipina memiliki TFR paling tinggi sebesar 2.78, turun lebih dari setengah nilai TFRnya di tahun 1960.

Bagaimana dengan negara-negara G20? Varian TFR pada anggota G20 cukup besar di tahun 1960. Terdapat negara dengan TFR rendah seperti Jerman (2.03), Rusia (1.99) dam Jepang (2.13). 17 negara lainnya memiliki TFR diatas 2.1, bahkan nilainya cukup tinggi seperti Arab Saudi (7.58), Meksiko (6.55) dan Tiongkok (6.09).

Di tahun 2020, hanya 3 negara anggota G20 yang memiliki TFR diatas 2.1 yakni Indonesia (2.19), Arab Saudi (2.47) dan Afrika Selatan (2.40). 12 dari 20 anggota G20 memiliki nilai TFR dibawah 1.7 dengan Korea Selatan (0.84), Italia (1.24) dan Tiongkok (1.28) sebagai anggota G20 dengan TFR terendah.

Informasi mengenai transisi nilai TFR memiliki implikasi yang signifikan dari segi demografis, ekonomis, hingga alasan strategis lainnya. Relevansi Eropa semakin menurun (18% populasi dunia di 1900 hingga 9.5% populasi dunia di 2020) dan Asia menjadi semakin relevan. Hasil pengamatan pada angka fertilitas regional menunjukan bahwa 75% kelahiran baru pada 2020-2070 berasal dari Afrika.
Peta dibawah menunjukan variasi Total Fertility Rate negara-negara di dunia pada tahun 2021 mulai dari yang terendah (0.77) hingga yang tertinggi (6.82) dengan titik tengah berada di 1.7 sebagai tolak ukur kemampuan populasi untuk bertambah. Warna hijau berarti TFR negara terkait diatas 1.7 dan masih memiliki peluang bagi populasinya untuk kembali bertambah sedangkan warna merah menunjukan TFR dibawah 1.7 yang berarti sulit untuk meningkatkan populasi penduduknya.
Penurunan populasi menjadi keniscayaan bagi sebagian besar negara Eropa dan Asia Timur. Semakin rendah TFR suatu negara, semakin sedikit generasi muda yang akan memasuki usia produktif untuk menopang generasi yang lebih tua. Akibatnya, ekonomi negara tersebut dapat mengalami penyusutan. Menurut Vaclav Smil, kebijakan pro-natalis yang diterapkan di negara-negara terkait belum memberikan dampak yang signifikan sehingga imigrasi menjadi satu-satunya solusi untuk mempertahankan stabilitas jumlah populasi.
Data Total Fertility Rate juga dapat kita perhatikan pada level provinsi di Indonesia. Menggunakan data dari BPS, kita dapat memperhatikan level TFR setiap provinsi di Indonesia pada tahun 2020 dan membandingkannya dengan level TFR nasional. Daerah dengan warna merah berarti memiliki nilai TFR dibawah nilai TFR nasional sedangkan warna hijau berarti TFR provinsi tersebut lebih dari TFR Indonesia.
Peta diatas menunjukan bahwa kontribusi kelahiran baru di tahun 2020 berasal dari luar pulau Jawa. Seluruh daerah di pulau Jawa dan Sulawesi Utara memiliki angka TFR dibawah nilai TFR nasional. Data lebih jelas dapat kita perhatikan pada grafik dibawah.
Meskipun seluruh provinsi di Indonesia memiliki TFR diatas 1.7, terdapat 6 provinsi dengan nilai TFR dibawah 2.1 yang artinya perkembangan populasi pada provinsi terkait terancam diperlambat. DKI Jakarta menjadi daerah dengan provinsi dengan TFR paling rendah (1.75) sedangkan NTT menjadi provinsi dengan nilai TFR paling tinggi (2.79). Nilai TFR setiap provinsi sangat berbeda dengan nilai pada 50 tahun lalu.
Nilai TFR terendah 5 dekade lalu adalah 4.72 di Jawa Timur, nilai ini jauh lebih tinggi dari TFR tertinggi provinsi Indonesia pada tahun 2020. Hal ini konsisten dengan nilai TFR Indonesia yang menurun drastis pada periode yang sama. Pada tahun 1971, provinsi dengan TFR tertinggi adalah Sumatra Utara dan Papua (7.20).
Beberapa pertanyaan:
Faktor-faktor apa saja yang memilki korelasi dengan nilai TFR?
Mungkin penentuan titik tengah peta Indonesia menggunakan rata-rata nasional kurang tepat?
Bagaimana korelasi antara pertumbuhan ekonomi (GDP atau disposable income) terhadap TFR?
Apakah kebijakan pro-natalis dari negara-negara maju dapat diukur hasilnya pada TFR? Apa saja kebijaka yang sudah diterapkan selain penghapusan one child policy di Tiongkok?
Where is the magic number 2.1, 1.7, and 1.5 comes from? Is there any technological solutions (once we know the factors) to ensure 1.7 to 2.1 TFR? Okay 2.1 is quite straightforward from math, but other numbers are not so clear.